Jumat, 22 April 2016

Hadits Tentang Anjuran untuk memuliakan tetangga, tamu dan tidak banyak omong kecuali hal yang baik




A.    Hadits Tentang Anjuran untuk memuliakan tetangga, tamu dan tidak banyak omong kecuali hal yang baik


67. Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya telah memberitakan kepada kami Ibnu Wahab dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya." (H.R Muslim)

B.     Takhrij Hadits
Hadis ini terdapat dalam Digital Hadis:
Sumber                        :  Muslim
Kitab                           : Iman
Bab                              : Anjuran untuk memuliakan tetangga, tamu dan tidak banyak omong kecuali hal yang baik
No. Hadist                  : 67

C.    Mufrodat

Diam
لِيَصْمُت
Barang siapa
مَنْ كَانَ
Menghormati
فَلْيُكْرِمْ
Beriman
يُؤْمِنُ
Tetangganya
جَارَهُ
Kepada Allah dan Hari Akhir
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِر
Tamunya
ضَيْفَهُ
Berkata baik
فَلْيَقُلْ خَيْراً



D.    Asbabul Wurud Hadits Memuliakan Tamu
Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “sesungguhnya saya kelaparan.” Maka Beliau mengutus seseorang kepada salah satu seorang istrinya, namun istrinya berkata,”tidak, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenmaran, saya tidak punya apa-apa selain air.” Kemudian Beliau mengutus utusan kepada istrinya yang lain, dan ia pun mengatakan seperti itu juga, hingga semua istri Beliau mengatakan sama,”tidak, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak punya apa-apa selain air.” Maka Beliau bersabda,”siapa yang mau ditamui malam ini? Semoga Allah merahmatinya!” maka seorang laki-laki dari kaum anshor berdiri seraya berkata,”saya, wahai Rasulullah.” Maka ia pun berangkat dengannya menuju rumahnya, dan kemudian berkata kepada istrinya, “apakah kamu mempunyai sesuatu?” ia menjawab,”tidak, kecuali makanan anak-anak ku.” Suaminya berkata,”sibukanlah mereka dengan sesuatu (sehingga teralihkan), dan apabila mereka hendak makan malam, maka tidurkanlah mereka, dan apabila tamu kita masuk, maka padamkanlah lampu dan perlihatkanlah kepadanya seakan-akan kita sedang makan.” Dan didalam satu riwayat disebutkan,”maka apabila ia akan duduk untuk makan, mka bangkitlah kamu menuju lampu hingga kamu memadamkannya.” Perawi menuturkan,”maka merekapun duduk dan sang tamu makan sedangkan mereka berdua kelaparan semalaman. Dan pada pagi harinya datanglah kepada ku Rasul SAW dan bersabda,”sesungguhnya Allah kagum terthdapa perbuatan kalian berdua terhadap tamu kalian berdua.” Ia menambahkan dalam satu riwayat, “maka turunlah ayat ini “dan mereka mengutamakan (orang-orang lain),atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang merka berikan itu).”

E.     Ayat yang Berkaitan Dengan Hadis Di Atas
Ayat yang berkaitan dengan menghargai tamu dan tetangga serta bertutur kata yang baik adalah:
Ø  QS. An-Nisa’ : 36
Artinya:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (QS. An-Nisa’ : 36)
Ø  QS. Adz-Dzariyat: 24-27
Artinya:
24. Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?
25. (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaamun". Ibrahim menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal."
26.  Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, Kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.
27.  Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: "Silahkan anda makan."
Ø  Al-Baqarah: 263
Artinya:
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”.

F.     Penjelasan Hadis dan Ayat tentang Menghargai Tamu, Bertetangga dan Bertutur Kata
Ketiga hal tersebut, yakni menghargai tamu, memuliakan tetangga dan bertutur kata yang baik adalah wujud pengakuan dari beriman kepada Allah dan hari akhir, karena dengan melaksanakannya berarti membenarkan adanya Allah Swt.
1.      Menghargai Tamu
Maksud memuliakan tamu dalam hadits di atas mencakup perseorangan maupun kelompok. Tentu saja hal ini dilakukan berdasarkan kemampuan bukan karena ria. Dalam syariat Islam, batas memuliakan tamu adalah 3 hari tiga malam, sedangkan selebihnya merupakan sedekah. Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari kemampuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah.
Dalam batas kewajiban tersebut, tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan kemampuannya tanpa ada unsur memaksakan diri. Pelayanan tamu termasuk kategori nafkah wajib, dan tidak wajib kecuali bagi orang yang mempunyai kelebihan nafkah keluarga. Selain itu, termasuk kategori memuliakan tamu ialah memberikan sambutan yang hangat dan senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikannya. Sikap yang ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka dari pada dijamu dengan makanan dan minuman yang mahal-mahal tetapi disertai dengan muka masam. Memuliakan tamu di samping merupakan kewajiban, ia juga mengandung aspek kemuliaan akhlak.
Sebaliknya, seorang yang bertamu juga harus senantiasa memperlihatkan akhlak yang baik, sehingga orang yang menerimanya merasa senang melayaninya. Adapun etika bertamu yang harus diperhatikan antara lain:
a.       Masuk ke rumah orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam, dan atau memberi hormat menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat.
b.      Masuk ke dalam rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu gerbang yang sengaja disediakan untuk jalan masuk bagi tamu.
c.       Ikut berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama kegiatan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
d.      Duduk setelah dipersilahkan, kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga sendiri.
e.       Duduk dengan sopan.
Jika tamu yang datang bermaksud meminta bantuan atas suatu masalah yang dihadapinya, maka kita harus memberinya bantuan sesuai kemampuan. Bahkan meskipun tamu bersangkutan tidak mengadukan kesulitannya jika hal itu kita ketahui, maka kita berkewajiban memberikan bantuan dalam batas kemampuan yang kita miliki.
Jika ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.
2.      Adab Bertetangga
Istilah tetangga mempunyai pengertian yang luas, mencakup tetangga yang dekat maupun jauh. Tetangga merupakan orang-orang yang terdekat  yang umumnya merekalah orang pertama yang mengetahui jika kita ditimpa musibah dan paling dekat untuk dimintai pertolongan di kala kita kesulitan. Oleh karena itu, hubungan dengan tetangga harus senantiasa diperbaiki. Saling kunjung mengunjungi antara tetangga merupakan perbuatan terpuji, karena hal itu akan melahirkan kasih sayang antara satu dengan yang lainnya.
Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya, bertambah dan berkurang sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya, kekerabatan, agama dan ketakwaannya serta yang sejenisnya. Adapun batasannya masih diperselisihkan para ulama, di antara pendapat mereka adalah:       
a.       Batasan tetangga yang mu’tabar adalah 40 rumah dari semua arah.
b.      Sepuluh rumah dari semua arah.
c.       Orang yang mendengar azan adalah tetangga
d.      Tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja.
e.       Batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid.
Pendapat yang lebih kuat, insya Allah batasannya kembali kepada adat yang berlaku. Apa yang menurut adat adalah tetangga maka itulah tetangga. Dengan demikian jelaslah tetangga rumah adalah bentuk yang paling jelas dari hakikat tetangga, akan tetapi pengertian tetangga tidak hanya terbatas pada hal itu saja bahkan lebih luas lagi. Karena dianggap tetangga juga tetangga di pertokoan, pasar, lahan pertanian, tempat belajar dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya ketetanggaan. Demikian juga teman perjalanan karena mereka saling bertetanggaan baik tempat atau badan dan setiap mereka memiliki kewajiban menunaikan hak tetangganya.
Berbuat baik kepada tetangga dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan pertolongan, memberikan pinjaman jika ia membutuhkan, menengok jika ia sakit, melayat jika ada yang meninggal, dan lain-lain. Selain itu, sebagai tetangga kita juga harus senantiasa melindungi mereka dari gangguan dan bahaya, memberinya rasa tenang.
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, Memuliakan (tetangga) dalam hadits yang telah disebutkan di atas bersifat mutlak (mencangkup segala bentuk pemuliaan). Maka (perlu) dikembalikan kepada ‘urf (adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat). Terkadang pemuliaan terwujud dengan cara mengunjungi tetangga, mengucapkan salam dan bertamu kepada mereka, bisa jadi dengan cara memberinya hadiah-hadiah.
3.      Berkata yang Baik atau Diam
Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanan nya itu) menyelamatkan nya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semua itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya.
Menjaga lisan bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan berkata baik atau kalau tidak mampu maka diam. Dengan demikian diam kedudukannya lebih rendah dari pada berkata baik, namun masih lebih baik dibandingkan dengan berkata yang tidak baik. Berkata baik terkait dengan 3 hal, seperti tersebut dalam surat An-Nisa': 114, yaitu perintah bershodaqoh, perintah kepada yang makruf atau berkata yang membawa perbaikan pada manusia. Perkataan yang di luar ketiga hal tersebut bukan termasuk kebaikan, namun hanya sesuatu yang mubah atau bahkan suatu kejelekan. Pada menjaga lisan ada isyarat menjaga seluruh anggota badan yang lain, karena menjaga lisan adalah yang paling berat.
Sesungguhnya lidah adalah pintu semua kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, hendaknya seorang mukmin menutup (menjaga) lidahnya sebagaimana (menjaga) emas dan peraknya. Rasulullah bersabda: “Tidak selamat seseorang dari dosa hingga ia menyimpan lidahnya”. Untuk menjadi orang yang baik, manusia dituntut untuk tahu bagaimana menggunakan lidahnya, sehingga dia berkata pada tempatnya dan diam pada tempatnya, tidak mengumpat orang lain, tidak mengadu domba mereka, tidak merendahkan mereka dengan ucapan, tidak memperolok mereka, tidak mengatakan sesuatu yang buruk kepada orang lain, dan lain sebagainya. Imam Ali as berkata: “... Dan terhinalah seseorang yang lidahnya menguasai dirinya”.[3] Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan terbaik.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).”
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no.10 dari Abdullah bin UmarRa bahwa Nabi Saw bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 64, dengan lafal:
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah orang muslim yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.’
Bahagia dan celakanya seseorang terletak pada ujung lidahnya sebab jika seseorang membiasakan lidahnya pada hal-hal yang baik seperti senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar, mendamaikan orang yang berselisih, maka perbuatan tersebut akan menjadi bagian yang tak terlepas dari dirinya. Oleh sebab itu rasulullah memerintahkan salah satu dari dua hal berikut jika tidak mampu lagi memberikan pertolongan kepada orang lain, maka cukuplah dengan menbicarakan yang baik atau diam saja.
Hadis-Hadis yang telah dijelaskan di atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt dan hari akhir. Ketiga ciri yang dimaksudkan adalah memuliakan tamu, menghormati tetangga, dan berbicara yang baik atau diam. Meskipun keimanan kepada Allah dan hari akhirat merupakan perbuatan yang bersifat abstrak, namun keimanan tidak berhenti sebatas pengakuan, tetapi harus diaplikasikan dalam bentuk-bentuk nyata. Hadis di atas hanya menyebutkan tiga indikator yang menggambarkan sikap seorang yang beriman, dan tidak berarti bahwa segala indikator keberimanan seseorang sudah tercakup dalam hadis tersebut.
Demikian pula, ciri-ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas tidaklah berarti bahwa orang yang tidak memenuhi hal itu diklaim sebagai orang yang keluar dari keimanan, sehingga orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangga, serta tidak berkata yang baik dianggap tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud hadis di atas bahwa ketiga sifat yang disebutkan dalam hadis termasuk aspek pelengkap keimanan kepada Allah dan hari akhir-Nya. Ketiga sifat tersebut di atas jika diwujudkan dengan baik, mempunyai arti sangat besar dalam kehidupan sosial.
Ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas, adakalanya terkait dengan hak-hak Allah swt, yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan, seperti diam atau berkata baik, dan adakalanya terkait dengan hak-hak hamba-Nya, seperti tidak menyakiti tetangga dan memuliakan tamu.

G.    Kesimpulan
Ayat  yang menjelaskan tentang menghargai tamu dan tetangga serta bertutur kata yang baik adalah QS. An-Nisa’: 36 dan Adz-Dzariyat:24-27
Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah. Sedangkan Berbuat baik kepada tetangga dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan pertolongan, memberikan pinjaman jika ia membutuhkan, menengok jika ia sakit, melayat jika ada yang meninggal, dan lain-lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar