A.
Hadits Tentang Anjuran untuk memuliakan tetangga, tamu dan tidak
banyak omong kecuali hal yang baik

67. Telah
menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya telah memberitakan kepada kami Ibnu
Wahab dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Abu
Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
akhir, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam. Dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia
memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir
maka hendaklah dia memuliakan tamunya." (H.R Muslim)
B. Takhrij Hadits
Hadis ini terdapat dalam Digital Hadis:
Sumber
: Muslim
Kitab : Iman
Bab : Anjuran untuk memuliakan tetangga, tamu dan tidak banyak omong kecuali hal yang baik
Kitab : Iman
Bab : Anjuran untuk memuliakan tetangga, tamu dan tidak banyak omong kecuali hal yang baik
No.
Hadist
: 67
C. Mufrodat
Diam
|
لِيَصْمُت
|
Barang siapa
|
مَنْ كَانَ
|
Menghormati
|
فَلْيُكْرِمْ
|
Beriman
|
يُؤْمِنُ
|
Tetangganya
|
جَارَهُ
|
Kepada Allah dan Hari Akhir
|
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِر
|
Tamunya
|
ضَيْفَهُ
|
Berkata baik
|
فَلْيَقُلْ خَيْراً
|
D. Asbabul Wurud Hadits Memuliakan Tamu
Seorang laki-laki
datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “sesungguhnya saya kelaparan.” Maka Beliau
mengutus seseorang kepada salah satu seorang istrinya, namun istrinya
berkata,”tidak, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenmaran, saya tidak
punya apa-apa selain air.” Kemudian Beliau mengutus utusan kepada istrinya yang
lain, dan ia pun mengatakan seperti itu juga, hingga semua istri Beliau
mengatakan sama,”tidak, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, saya
tidak punya apa-apa selain air.” Maka Beliau bersabda,”siapa yang mau ditamui
malam ini? Semoga Allah merahmatinya!” maka seorang laki-laki dari kaum anshor
berdiri seraya berkata,”saya, wahai Rasulullah.” Maka ia pun berangkat
dengannya menuju rumahnya, dan kemudian berkata kepada istrinya, “apakah kamu
mempunyai sesuatu?” ia menjawab,”tidak, kecuali makanan anak-anak ku.” Suaminya
berkata,”sibukanlah mereka dengan sesuatu (sehingga teralihkan), dan apabila
mereka hendak makan malam, maka tidurkanlah mereka, dan apabila tamu kita
masuk, maka padamkanlah lampu dan perlihatkanlah kepadanya seakan-akan kita
sedang makan.” Dan didalam satu riwayat disebutkan,”maka apabila ia akan duduk
untuk makan, mka bangkitlah kamu menuju lampu hingga kamu memadamkannya.”
Perawi menuturkan,”maka merekapun duduk dan sang tamu makan sedangkan mereka
berdua kelaparan semalaman. Dan pada pagi harinya datanglah kepada ku Rasul SAW
dan bersabda,”sesungguhnya Allah kagum terthdapa perbuatan kalian berdua
terhadap tamu kalian berdua.” Ia menambahkan dalam satu riwayat, “maka turunlah
ayat ini “dan mereka mengutamakan (orang-orang lain),atas diri mereka
sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang merka berikan itu).”
E. Ayat yang Berkaitan Dengan Hadis Di Atas
Ayat yang berkaitan
dengan menghargai tamu dan tetangga serta bertutur kata yang baik adalah:
Ø QS. An-Nisa’ : 36
Artinya:
Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri (QS. An-Nisa’ : 36)
Ø QS. Adz-Dzariyat: 24-27
Artinya:
24. Sudahkah sampai kepadamu
(Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang
dimuliakan?
25. (Ingatlah) ketika
mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaamun". Ibrahim
menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal."
26. Maka dia
pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, Kemudian dibawanya daging anak sapi
gemuk.
27. Lalu
dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: "Silahkan anda
makan."
Ø Al-Baqarah: 263
Artinya:
“Perkataan
yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha
Penyantun”.
F. Penjelasan Hadis dan Ayat tentang Menghargai
Tamu, Bertetangga dan Bertutur Kata
Ketiga hal tersebut,
yakni menghargai tamu, memuliakan tetangga dan bertutur kata yang baik adalah
wujud pengakuan dari beriman kepada Allah dan hari akhir, karena dengan
melaksanakannya berarti membenarkan adanya Allah Swt.
1. Menghargai Tamu
Maksud memuliakan tamu
dalam hadits di atas mencakup perseorangan maupun kelompok. Tentu saja hal ini
dilakukan berdasarkan kemampuan bukan karena ria. Dalam syariat Islam, batas
memuliakan tamu adalah 3 hari tiga malam, sedangkan selebihnya merupakan
sedekah. Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan
terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan
berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari kemampuan. Dalam
sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga
hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah.
Dalam batas kewajiban
tersebut, tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan
kemampuannya tanpa ada unsur memaksakan diri. Pelayanan tamu termasuk kategori
nafkah wajib, dan tidak wajib kecuali bagi orang yang mempunyai kelebihan nafkah
keluarga. Selain itu, termasuk kategori memuliakan tamu ialah memberikan
sambutan yang hangat dan senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas
pelayanan yang diberikannya. Sikap yang ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan
di hati mereka dari pada dijamu dengan makanan dan minuman yang mahal-mahal
tetapi disertai dengan muka masam. Memuliakan tamu di samping merupakan
kewajiban, ia juga mengandung aspek kemuliaan akhlak.
Sebaliknya, seorang
yang bertamu juga harus senantiasa memperlihatkan akhlak yang baik, sehingga
orang yang menerimanya merasa senang melayaninya. Adapun etika bertamu yang
harus diperhatikan antara lain:
a. Masuk ke rumah orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam, dan
atau memberi hormat menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat.
b. Masuk ke dalam rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu
gerbang yang sengaja disediakan untuk jalan masuk bagi tamu.
c. Ikut berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama
kegiatan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
d. Duduk setelah dipersilahkan, kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga
sendiri.
e. Duduk dengan sopan.
Jika tamu yang datang
bermaksud meminta bantuan atas suatu masalah yang dihadapinya, maka kita harus
memberinya bantuan sesuai kemampuan. Bahkan meskipun tamu bersangkutan tidak
mengadukan kesulitannya jika hal itu kita ketahui, maka kita berkewajiban
memberikan bantuan dalam batas kemampuan yang kita miliki.
Jika
ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat
Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam.
Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan
masyarakat yang aman dan damai.
2. Adab Bertetangga
Istilah tetangga
mempunyai pengertian yang luas, mencakup tetangga yang dekat maupun jauh.
Tetangga merupakan orang-orang yang terdekat yang umumnya merekalah orang
pertama yang mengetahui jika kita ditimpa musibah dan paling dekat untuk
dimintai pertolongan di kala kita kesulitan. Oleh karena itu, hubungan dengan
tetangga harus senantiasa diperbaiki. Saling kunjung mengunjungi antara
tetangga merupakan perbuatan terpuji, karena hal itu akan melahirkan kasih
sayang antara satu dengan yang lainnya.
Tetangga memiliki
tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya, bertambah dan
berkurang sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya, kekerabatan, agama dan
ketakwaannya serta yang sejenisnya. Adapun batasannya masih diperselisihkan
para ulama, di antara pendapat mereka adalah:
a. Batasan tetangga yang mu’tabar adalah 40 rumah dari semua arah.
b. Sepuluh rumah dari semua arah.
c. Orang yang mendengar azan adalah tetangga
d. Tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja.
e. Batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid.
Pendapat yang lebih kuat, insya Allah batasannya kembali kepada adat yang
berlaku. Apa yang menurut adat adalah tetangga maka itulah tetangga. Dengan
demikian jelaslah tetangga rumah adalah bentuk yang paling jelas dari hakikat
tetangga, akan tetapi pengertian tetangga tidak hanya terbatas pada hal itu
saja bahkan lebih luas lagi. Karena dianggap tetangga juga tetangga di
pertokoan, pasar, lahan pertanian, tempat belajar dan tempat-tempat yang
memungkinkan terjadinya ketetanggaan. Demikian juga teman perjalanan karena
mereka saling bertetanggaan baik tempat atau badan dan setiap mereka memiliki
kewajiban menunaikan hak tetangganya.
Berbuat baik kepada tetangga dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya
dengan memberikan pertolongan, memberikan pinjaman jika ia membutuhkan,
menengok jika ia sakit, melayat jika ada yang meninggal, dan lain-lain. Selain
itu, sebagai tetangga kita juga harus senantiasa melindungi mereka dari
gangguan dan bahaya, memberinya rasa tenang.
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, Memuliakan
(tetangga) dalam hadits yang telah disebutkan di atas bersifat mutlak
(mencangkup segala bentuk pemuliaan). Maka (perlu) dikembalikan kepada ‘urf
(adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat). Terkadang pemuliaan terwujud
dengan cara mengunjungi tetangga, mengucapkan salam dan bertamu kepada mereka,
bisa jadi dengan cara memberinya hadiah-hadiah.
3. Berkata yang Baik atau Diam
Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir”,
maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang
(keimanan nya itu) menyelamatkan nya dari adzab Allah dan membawanya
mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena
orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada
ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah
dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semua itu ialah
mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai
tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya.
Menjaga lisan bisa dilakukan dengan 2 cara,
yaitu dengan berkata baik atau kalau tidak mampu maka diam. Dengan demikian
diam kedudukannya lebih rendah dari pada berkata baik, namun masih lebih baik dibandingkan
dengan berkata yang tidak baik. Berkata baik terkait dengan 3 hal, seperti
tersebut dalam surat An-Nisa': 114, yaitu perintah bershodaqoh, perintah kepada yang makruf atau berkata yang membawa perbaikan pada
manusia. Perkataan yang di luar ketiga hal tersebut bukan termasuk kebaikan,
namun hanya sesuatu yang mubah atau bahkan suatu kejelekan. Pada menjaga lisan
ada isyarat menjaga seluruh anggota badan yang lain, karena menjaga lisan
adalah yang paling berat.
Sesungguhnya lidah adalah pintu semua kebaikan dan keburukan. Oleh karena
itu, hendaknya seorang mukmin menutup (menjaga) lidahnya sebagaimana (menjaga)
emas dan peraknya. Rasulullah bersabda: “Tidak selamat seseorang dari dosa
hingga ia menyimpan lidahnya”. Untuk menjadi orang yang baik, manusia dituntut
untuk tahu bagaimana menggunakan lidahnya, sehingga dia berkata pada tempatnya
dan diam pada tempatnya, tidak mengumpat orang lain, tidak mengadu domba
mereka, tidak merendahkan mereka dengan ucapan, tidak memperolok mereka, tidak
mengatakan sesuatu yang buruk kepada orang lain, dan lain sebagainya. Imam Ali
as berkata: “... Dan terhinalah seseorang yang lidahnya menguasai dirinya”.[3] Oleh sebab itulah
sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata baik, dan jika tidak mampu
mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan terbaik.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan
dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan,
“Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu.
Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan.
Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan
(jangan bicara).”
Diriwayatkan oleh
Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no.10 dari Abdullah bin UmarRa bahwa
Nabi Saw bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ
الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim
adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan
tangannya.”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 64, dengan lafal:
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ
“Ada seorang
laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Siapakah orang muslim yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang yang
orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.’”
Bahagia dan celakanya
seseorang terletak pada ujung lidahnya sebab jika seseorang membiasakan
lidahnya pada hal-hal yang baik seperti senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar,
mendamaikan orang yang berselisih, maka perbuatan tersebut akan menjadi bagian
yang tak terlepas dari dirinya. Oleh sebab itu rasulullah memerintahkan salah
satu dari dua hal berikut jika tidak mampu lagi memberikan pertolongan kepada
orang lain, maka cukuplah dengan menbicarakan yang baik atau diam saja.
Hadis-Hadis yang telah
dijelaskan di atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus
konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt dan hari akhir.
Ketiga ciri yang dimaksudkan adalah memuliakan tamu, menghormati tetangga, dan
berbicara yang baik atau diam. Meskipun keimanan kepada Allah dan hari akhirat
merupakan perbuatan yang bersifat abstrak, namun keimanan tidak berhenti
sebatas pengakuan, tetapi harus diaplikasikan dalam bentuk-bentuk nyata. Hadis
di atas hanya menyebutkan tiga indikator yang menggambarkan sikap seorang yang
beriman, dan tidak berarti bahwa segala indikator keberimanan seseorang sudah
tercakup dalam hadis tersebut.
Demikian pula,
ciri-ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas tidaklah berarti
bahwa orang yang tidak memenuhi hal itu diklaim sebagai orang yang keluar dari
keimanan, sehingga orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangga, serta tidak
berkata yang baik dianggap tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud
hadis di atas bahwa ketiga sifat yang disebutkan dalam hadis termasuk aspek
pelengkap keimanan kepada Allah dan hari akhir-Nya. Ketiga sifat tersebut di
atas jika diwujudkan dengan baik, mempunyai arti sangat besar dalam kehidupan
sosial.
Ciri orang beriman yang
disebutkan dalam hadis di atas, adakalanya terkait dengan hak-hak Allah swt,
yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan,
seperti diam atau berkata baik, dan adakalanya terkait dengan hak-hak
hamba-Nya, seperti tidak menyakiti tetangga dan memuliakan tamu.
G. Kesimpulan
Ayat yang
menjelaskan tentang menghargai tamu dan tetangga serta bertutur kata yang baik
adalah QS. An-Nisa’: 36 dan Adz-Dzariyat:24-27
Yang dimaksud dengan
memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin.
Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah
tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah.
Sedangkan Berbuat baik kepada tetangga dapat dilakukan dengan berbagai
cara, misalnya dengan memberikan pertolongan, memberikan pinjaman jika ia
membutuhkan, menengok jika ia sakit, melayat jika ada yang meninggal, dan
lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar